您的当前位置:首页 > 知识 > 2026 Permintaan Minyak Global dari AS Akan Anjlok Drastis 正文
时间:2025-06-06 08:30:16 来源:网络整理 编辑:知识
Warta Ekonomi, Jakarta - Kebijakan tarif besar-besaran Amerika Serikat (AS) yang diberlakukan oleh p quickq收费吗
Kebijakan tarif besar-besaran Amerika Serikat (AS) yang diberlakukan oleh pemerintahan Donald Trump telah menimbulkan kerugian besar di sektor energi negara tersebut, mulai dari produksi minyak hingga pengembangan energi terbarukan, demikian menurut analisis terbaru.
Kebijakan tarif pemerintahan Trump itu justru berbalik merugikan sektor energi AS, dengan penelitian terbaru dari Wood Mackenzie (WoodMac), firma konsultan analitik sumber daya energi dan alam terkemuka, menunjukkan bahwa perang dagang dapat mengikis proyeksi pertumbuhan permintaan minyak, menghambat investasi energi terbarukan, dan menjerumuskan negara itu ke dalam isolasi energi berbiaya tinggi yang melemahkan daya saing globalnya.
Penelitian yang dirilis pada akhir Mei itu menyatakan bahwa pengumuman tarif "Hari Pembebasan" (Liberation Day) oleh Presiden Trump pada 2 April disebut sebagai "momen yang bisa dibilang paling krusial bagi ekonomi global sejak masuknya China ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 2001."
Namun, berbeda dengan masuknya China yang secara signifikan memacu pertumbuhan global, tarif AS yang tinggi dan pembalasan internasional mengancam akan menghancurkan hubungan perdagangan yang sudah mapan dan mempercepat penarikan diri dari globalisasi, menurut firma tersebut.
WoodMac mengembangkan tiga skenario untuk menilai dampak kebijakan perdagangan Trump, dengan skenario "perang dagang" terparah memperkirakan tarif efektif AS melebihi 30 persen. Dalam skenario ini, pertumbuhan domestik bruto (PDB) global diproyeksikan akan menyusut 2,9 persen pada 2030, menurut analisisnya.
Industri minyak, yang menjadi pilar utama kemandirian energi AS, khususnya menghadapi konsekuensi yang sangat serius di bawah kebijakan tarif Trump. Dalam skenario terburuk, permintaan minyak global akan mengalami "penurunan signifikan" pada 2026.
Meskipun pertumbuhan permintaan akan kembali berlanjut mulai 2027, jumlah permintaan secara keseluruhan pada 2030 tetap akan lebih rendah 2,5 juta barel per hari dibandingkan skenario paling optimistis.
Harga minyak diperkirakan akan anjlok menjadi rata-rata 50 dolar AS (1 dolar AS = Rp16.297) per barel pada 2026. Penurunan ini akan sangat berdampak bagi produsen minyak serpih (shale oil) di AS.
Menurut penelitian WoodMac, ekonomi pengeboran di Lower 48 (48 negara bagian di Amerika Serikat, minus Alaska dan Hawaii) tidak akan mendukung pertumbuhan produksi jika harga minyak mentah berada di level 50 dolar AS per barel.
Hal ini terjadi meskipun perusahaan-perusahaan berusaha keras menurunkan titik impas mereka agar tetap bisa berproduksi.
Penurunan harga ini akan memaksa pengurangan investasi yang signifikan dan menyebabkan penurunan produksi minyak AS hingga 2030. Pertumbuhan pasokan di luar AS juga akan terdampak oleh anggaran yang berkurang untuk proyek hulu, dengan perkiraan tertundanya pembangunan yang belum dimulai.
Di sektor energi, biaya tambahan dan ketidakpastian yang ditimbulkan oleh tarif menciptakan hambatan bagi investasi dan mempersulit peningkatan pasokan.
"Dalam bisnis dengan siklus perencanaan lima hingga sepuluh tahun, ketidakpastian soal biaya proyek untuk tahun depan atau tahun berikutnya sangatlah mengganggu," menurut laporan WoodMac. Konsultan tersebut mengatakan bahwa banyak perusahaan melaporkan penyesuaian strategi dan rencana bisnis, termasuk penundaan investasi.
Hambatan tarif secara efektif mengukuhkan posisi AS sebagai lokasi berbiaya tinggi untuk energi terbarukan dan penyimpanan energi.
Pemerintahan Trump mempromosikan tarif sebagai alat untuk mendorong relokasi manufaktur ke dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada rantai pasokan asing. Namun, analisis menunjukkan bahwa kebijakan ini justru menghasilkan efek sebaliknya di sektor energi yang sangat penting.
Sektor logam dan pertambangan, yang esensial untuk infrastruktur energi, akan mengalami dampak yang sangat parah. Permintaan aluminium turun hampir 4 juta ton pada 2026, dengan tembaga turun 1,2 juta ton, dibandingkan dengan proyeksi dasar. Permintaan baja turun sebesar 90 juta ton dan permintaan litium turun 70.000 ton.
Analisis tersebut menyatakan bahwa perusahaan di industri energi dan sumber daya alam kini harus "menghadapi ketidakpastian terkait tarif yang akan berlanjut selama berbulan-bulan, dan mungkin bertahun-tahun ke depan." Xinhua
Jadi PNS Selama 30 Tahun yang Meringankan Hukuman Rafael Alun2025-06-06 08:17
Gejala Kolesterol Tinggi Ternyata Bisa Dilihat di Mata, Apa Saja?2025-06-06 08:02
Dampak Tidur Terlalu Lama, Salah Satunya Bikin Berat Badan Naik2025-06-06 07:58
Masyarakat Adat Sorong Selatan Siap Kembangkan Ekowisata Berkelanjutan2025-06-06 07:53
TKN Sebut Tidak Ada Unsur Politik Pada Kegiatan Gibran di CFD Lalu2025-06-06 07:52
7 Mal Ini Punya Immigration Lounge, Urus Paspor Lebih Mudah2025-06-06 07:36
Serius Perangi Judi Online hingga Akar2025-06-06 07:36
Dua Tersangka Kasus Korupsi Timah Jalani Tahap II oleh Kejagung ke Kejari Jakarta Selatan2025-06-06 06:32
5 Cara Ini Ampuh Bikin Awet Muda, Lakukan Sebelum Tidur2025-06-06 06:31
Pulau Paling 'Kesepian' di Dunia, Menyeramkan untuk Dikunjungi2025-06-06 06:01
Rusunawa Kini Bisa Jadi Milik Pribadi, Benar?2025-06-06 08:12
Daftar 12 Kementerian yang Telah Rilis Formasi CPNS 2024, Ada Pilihanmu?2025-06-06 08:12
Kenapa Suhu Udara di Pesawat Sangat Dingin?2025-06-06 07:51
Krishna Murti Minta Netizen Jangan Bully Anang dan Ashanty Soal Nyanyi di GBK, Tapi...2025-06-06 07:51
KLHK Akui Belum Terima Pelimpahan Kasus Penembakan Burung Kuntul2025-06-06 07:45
3 Daun Ini Ampuh Jaga Kesehatan Tulang, Cocok untuk yang Mulai Menua2025-06-06 06:52
Survei Ungkap Tren Skincare Masa Depan: Clean Beauty hingga AI2025-06-06 06:27
Anies Baswedan Kasih Apresiasi ke Masjid Istiqlal Karena...2025-06-06 06:01
Ratusan Pekerja Bakal Terima Kartu Pekerja, Kapan?2025-06-06 05:59
7 Cara Alami Membersihkan Ginjal, Saatnya Bilang 'Bye' pada Racun2025-06-06 05:56